Perdana Menteri Thailand

Daftar Perdana Menteri Thailand
Berikut merupakan daftar Perdana Menteri Thailand.
No       Gambar           Nama   Mulai menjabat           Akhir menjabat
1                              Phraya Manopakorn Nititada          28 Juni 1932         21 Juni 1933
2                              Jenderal Phot Phahonyothin             21 Juni 1933         16 Desember 1938
3                              Jenderal Besar Plaek Phibunsongkhram(periode ke 1)                16 Desember 1938              1 Agustus 1944
4                              Mayor Khuang Abhaiwongse(periode ke 1)  1 Agustus 1944    31 Agustus 1945
5                              Tawee Boonyaket               31 Agustus 1945  17 September 1945
6                              Seni Pramoj(periode ke 1) 17 September 1945             31 Januari 1946
                                Mayor Khuang Abhaiwongse(periode ke 2)  31 Januari 1946   24 Maret 1946
7                              Luang Praditmanutham    24 Maret 1946     23 Agustus 1946
8                              Laksamana Muda Thawal Thamrong Navaswadhi    23 Agustus 1946  8 November 1947
                                Mayor Khuang Abhaiwongse(periode ke 3)  10 November 1947             8 April 1948
                                Jenderal Besar Plaek Phibunsongkhram(periode ke 2)                8 April 1948 (sementara dari 1 Maret 1959) 16 September 1957
9                              Pote Sarasin          21 September 1957             1 Januari 1958
10                           Jenderal Besar Thanom Kittikachorn(periode ke 1)    1 Januari 1958     20 Oktober 1958
11                           Jenderal Besar Sarit Dhanarajata    20 Oktober 1958 (sementara dari 9 Februari 1959)     8 Desember 1963
                                Jenderal Besar Thanom Kittikachorn(periode ke 2)    9 Desember 1963                14 Oktober 1973
12                           Sanya Dharmasakti            14 Oktober 1973 15 Februari 1975
                                Seni Pramoj(periode ke 2) 15 Februari 1975 14 Maret 1975
13                           Kukrit Pramoj      14 Maret 1975     20 April 1976
                                Seni Pramoj(periode ke 3) 20 April 1976       6 Oktober 1976
14                           Tanin Kraivixien 8 Oktober 1976    20 Oktober 1977
15                           Jenderal Kriangsak Chomanan        12 November 1977             3 Maret 1980
16                           Jenderal Prem Tinsulanonda             3 Maret 1980       4 Agustus 1988
17                           Jenderal Chatichai Choonhavan     4 Agustus 1988    23 Februari 1991
18                           Anand Panyarachun(periode ke 1)  2 Maret 1991       7 April 1992
19                           Jenderal Suchinda Kraprayoon        7 April 1992          10 Juni 1992
                                Meechai Ruchuphan          24 Mei 1992         10 Juni 1992
                                Anand Panyarachun(periode ke 2)  10 Juni 1992         23 September 1992
20                           Chuan Leekpai(periode ke 1)           23 September 1992             13 Juli 1995
21                           Banharn Silpa-Archa          13 Juli 1995          25 November 1996
22                           Jenderal Chavalit Yongchaiyudh     25 November 1996             9 November 1997
                                Chuan Leekpai(periode ke 2)           9 November 1997               9 Februari 2001
23                           Thaksin Shinawatra(periode ke 1)   9 Februari 2001   19 September 2006
                                Chitchai Wannasathit(pejabat sementara)    5 April 2006          23 Mei 2006
                                Thaksin Shinawatra(periode ke 2)   23 Mei 2006         19 September 2006
24                           Jenderal Surayud Chulanont            1 Oktober 2006    29 Januari 2008
25                           Samak Sundaravej             29 Januari 2008   8 September 2008
26                           Somchai Wongsawat          18 September 2008             2 Desember 2008
                                Chaovarat Chanweerakul(pejabat sementara)            2 Desember 2008                17 Desember 2008
27                           Abhisit Vejjajiva 17 Desember 2008              5 Agustus 2011
28                           Yingluck Shinawatra          5 Agustus 2011    sekarang

Catatan
Jenderal Sonthi Boonyaratglin mengangkat dirinya sebagai Kepala Pemerintahan secara de facto atas restu Raja Thailand setelah pengambil-alihan kekuasaan pada 19 September 2006. Mulai saat itu, Sonthi menjabat sebagai Ketua Dewan Pembaruan Administrasi Pada 1 Oktober 2006, Dewan menunjuk Surayud Chulanont sebagai Perdana Menteri sementara, hingga pemilu berikutnya dalam beberapa bulan, setelah Konstitusi yang baru disusun dan diajukan dalam sebuah referendum.

Pranala luar
(Inggris) Daftar Perdana Menteri Thailand
(Inggris) Sejarah Perdana Menteri Thailand, daftar yang sangat terinci

Phraya Manopakorn Nititada
Phraya Manopakorn Nititada (Thailand: พระยามโนปกรณ์นิติธาดา), lahir dengan nama Kon Hutasingha (Thailand: ก้อน หุตะสิงห์), (lahir 15 Juli 1884 – meninggal 1 Oktober 1948 pada umur 64 tahun) adalah Perdana Menteri Siam pertama setelah Revolusi Siam tahun 1932 dan ia dipilih oleh pemimpin Partai Rakyat - pihak yang menghasut revolusi. Namun, di tahun berikutnya, Manoparkorn digulingkan dalam kudeta pada tahun 1933 karena konflik antara anggota Partai Rakyat.

Thanom Kittikachorn
Thanom Kittikachorn (lahir 11 Agustus 1911 – meninggal 16 Juni 2004 pada umur 92 tahun, bahasa Thai: ถนอม กิตติขจร) adalah seorang militer diktator dari Thailand. Seorang anti-komunis, Thanom memimpin militer Thailand dari tahun 1963 hingga 1973, sampai kepada protes publik yang menjadi kekerasan dan memaksanya untuk turun. Sekembalinya dari pengasingan tahun 1976 memulai protes yang kemudian menjadi pembantaian besar-besaran para demonstrator yang disertai dengan kudeta militer.

Thaksin Shinawatra
Thaksin Shinawatra (bahasa Thai: ทักษิณ ชินวัตร, IPA: [tʰáksǐn tɕʰinnawát ] (bantuan·info); lahir 26 Juli 1949) adalah seorang politikus Thailand. Ia adalah Perdana Menteri Thailand dari tahun 2001 hingga 2006 dan Ketua Partai Thai Rak Thai yang populer. Pada 4 April 2006, menyusul protes atas dirinya dan pemilu sepihak yang dimenangi partainya secara mayoritas,[1] ia menyatakan mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri. Meskipun begitu, ia masih akan terus menjabat hingga penggantinya dilantik. Ia lalu digulingkan lewat sebuah kudeta pada 19 September 2006 yang dilaksanakan oleh angkatan bersenjata Thailand. Shinawatra saat itu sedang berada di Amerika Serikat untuk menghadiri Sidang Umum PBB. Sebelum terjun ke dalam dunia politik, Thaksin adalah pendiri Shin Corporation yang salah satu bagian dari perusahaannya adalah operator telepon seluler terbesar Thailand Advanced Info Service. Ia juga adalah orang terkaya di Thailand. Ia menikah dengan Khunying Potjaman Shinawatra (Damapong) dan ayah tiga anak: Panthongtae, Pinthongtha, dan Praethongtharn.

Biografi
Thaksin lahir di rumah kayu bertingkat dua di depan pasar di Desa Sankamphaeng di provinsi Chiang Mai (sebelah utara Thailand) pada 26 Juli 1949. Ia anak seorang pedagang di pasar dan tetap tinggal serta bersekolah di desa itu hingga usia 15 tahun. Ia masuk Monfort College di Kota Chiang Mai. Karena usianya, dia terpaksa langsung masuk ke kelas III. Di sekolah itu, ia menghadapi persoalan. Ia tidak pernah belajar bahasa Inggris, padahal di sekolah itu bahasa Inggris diajarkan sejak kelas I. Terpaksalah dia belajar ekstra keras hingga akhirnya dapat menamatkan sekolah dengan baik.

Meskipun dikenal sebagai murid yang pandai, tetapi ia sama sekali bukan seorang kutu buku. Ia sempat menajamkan naluri bisnis dari keluarga terutama dari ayahnya yang mengelola warung kopi dan kebun buah-buahan. Setelah menamatkan sekolah menengah atas (SMA), ia masuk Akademi Kadet Polisi dari angkatan di Kelas 26 dan lulus yang pertama (1973) dengan nilai yang terbaik dan menjadi seorang polisi. Setahun kemudian, dia memperoleh bea siswa dari pemerintah untuk mengambil gelar S-2 untuk jurusan peradilan (Criminal Justice) di Eastern Kentucky University (Amerika Serikat) dan lulus tahun 1975. Tahun 1978, ia kembali ke Amerika Serikat untuk mengambil S-3 di Sam Houston State University. Dalam periode ini Thaksin bertemu dan menikah dengan Potjamarn Damapong dan belajar komputer. Sekembalinya ke Thailand, dia meneruskan karier di kepolisian. Bahkan, ia membantu dan memodernisasi gudang data (database) kejahatan yang dimiliki polisi serta mengembangkan penggunaan komputer dalam memproses nomor mobil. Bersama isterinya, pada tahun 1982, ia mendirikan perusahaan komputer. Karena ia bertugas di kepolisian, perusahaan dikelola sepenuhnya oleh istrinya. Perusahaan itu menyewakan komputer kepada instansi-instansi pemerintah dan secara bertahap berkembang menjadi Perusahaan Komputer Shinawatra. Tahun 1987, dalam usia 38 tahun, Thaksin yang berpangkat Mayor Polisi mengundurkan diri dari kepolisian dan memusatkan perhatian pada perusahaan. Perusahaannya mulai merambah bidang-bidang baru seperti peralatan signal SOS, radio hiburan untuk digunakan di bus, radio panggil (pager), menjual dan menjadi operator telepon selular, televisi kabel, dan bisnis satelit. Dengan keluwesan sikapnya dan jaringan pergaulannya yang luas terutama di kalangan pejabat pemerintah, ia pun mampu menjadikan dirinya seorang konglomerat. Perusahaan telekomunikasi yang dimiliki kemudian merambah ke negara tetangga, yakni Laos dan Kamboja. Nama perusahaannya kemudian diubah dari Shinawatra Corp menjadi Shin Corporation pada tahun 2000. Nama perusahaan Shinawatra Satelite juga diubah menjadi Thaicom Satellite. Bersama isterinya, ia menguasai 50% saham perusahaan tersebut, sehingga menjadi orang terkaya di Thailand. Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Chuan Leekpai, ia menjabat Menteri Luar Negeri (1994) untuk Partai Palang Dharma. Tahun 1995, ia diangkat menjadi Deputi Perdana Menteri pada pemerintahan Perdana Menteri Nai Banharn Silpa-Archa. Tahun 1997, ia kembali diangkat Deputi Perdana Menteri pada pemerintahan Perdana Menteri Chavalith Yongchaiyudh. Pada tahun 1998, ia mendirikan Partai Thai Rak Thai ("Rakyat Thai Mencintai Sesama Rakyat Thai") dan mulai berkampanye melawan tuduhan korupsi politikus Thai lainnya. Selain juga menjadi anggota parlemen pada tahun tersebut. Pemilu 6 Januari 2001 yang merupakan pertama berlangsung di bawah konstitusi reformis sejak didengungkan tahun 1997 memenangkan partai pimpinannya. Ia pun kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri pada 9 Februari 2001. Kepopuleran ketokohannya menghantarkannya menerima mandat kedua kali melalui pemilu 6 Februari 2005. Pada pemilu 2005 tersebut, partai yang dipimpinnya meraih 364 dari 500 kursi parlemen. Berbagai kritikan media yang diarahkan kepadanya ditanggapi dengan sangat sensitif, sehingga menimbulkan suatu jarak yang tidak sehat. Titah atau petuah (suara) Raja Bhumibol Adulyadev diperlukan guna meredam pertikaian berlanjut.

Mundur Untuk Kembali
Perseteruan antara dirinya dan Partai Thai Rak Thai (TRT) dengan tiga partai oposisi besar (Partai Demokrat, Partai Chat Thai, dan Partai Mahashon) bermula dari kekecewaan kaum kelas menengah pada kepemimpinannya yang dituduh menyalahgunakan kekuasaan. Dimotori antara lain oleh pengusaha penerbitan pers Sondhi Limthongkul yang membentuk aliansi anti-Thaksin bernama Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD). Sejak Desember 2005, mereka menggelar berbagai aksi demonstrasi. Gelombang unjuk rasa di Bangkok makin marak setelah mantan pemimpin Partai Palang Dharma dan mantan Gubernur Bangkok (Chamlong Srimuang) bergabung dan ikut menuntut Thaksin mundur. Gelombang protes jalanan mencapai puncaknya menyusul terungkapnya kasus penjualan saham perusahaan Shin Corp oleh Phantongtae (anak Thaksin) kepada perusahaan asal Singapura bernama Temasek Holdings, dengan harga 1,9 miliar dollar AS. Dianggap sebagai salah satu aset bangsa bernilai strategis, perusahaan telekomunikasi raksasa milik keluarga Thaksin itu tak seharusnya dikuasai perusahaan asing. Apalagi dibebaskan dari kewajiban membayar pajak penjualan dari transaksi raksasa yang dilakukan. Di bawah tekanan berbagai kelompok yang menuntutnya mundur, Thaksin membubarkan majelis rendah (27 Februari 2006) dan memutuskan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) yang dipercepat (snap election) pada 2 April 2006. Pemilu yang diselenggarakan tiga tahun lebih cepat dari jadwal sebenarnya ini diyakini bisa membuktikan dukungan mayoritas rakyat terhadapnya, sekaligus membungkam kaum oposisi yang terus menuntutnya mundur. Memang, kemudian ia menang. Partai TRT berhasil meraih 51 persen suara rakyat pengguna hak pilih. Persoalannya, pemilu ini diboikot ketiga partai oposisi utama yang sama sekali tak mengajukan calon-calon legislatornya untuk duduk dalam parlemen yang baru. Seruan boikot juga menghasilkan sekitar 10 juta suara abstain dan tidak sah, kemudian dimenangi partai Thaksin. Akibatnya, pemilu tak mampu menghasilkan para legislator dalam jumlah yang cukup untuk mengisi seluruh 500 kursi yang ada di parlemen. Aksi penggembosan oleh partai-partai oposisi membuat di banyak daerah pemilihan para calon legislator (caleg) TRT maju sebagai calon tunggal. Akibatnya, mereka sulit meraih dukungan sampai 20 persen --jumlah suara minimum yang harus diraih seorang caleg tunggal yang maju tanpa pesaing. Sampai akhir penghitungan suara masih ada 38 kursi wakil rakyat yang kosong. Masih ada juga satu kursi lain yang kosong akibat ada caleg tunggal TRT yang didiskulifikasi. Meski sempat mengklaim memenangi pemilu, Thaksin kemudian menyatakan mundur pada 4 April 2006, sesaat setelah ia beraudensi dengan Raja Bhumibol Adulyadej di Istana Hua Hin. Keputusan mengundurkan diri dilakukan di tengah ancaman PAD untuk melanjutkan aksi-aksi protesnya. Pemilu yang diulang di 39 daerah pemilihan pada 23 April 2006 bertujuan mengisi kursi parlemen yang masih kosong juga tak membuahkan hasil karena tetap diboikot partai-partai oposisi. Pemerintahan yang baru pun tak bisa dibentuk karena menurut konstitusi, parlemen bisa mulai bersidang memilih perdana menteri dan membentuk pemerintahan baru hanya jika seluruh kursinya terisi. Thailand makin tenggelam dalam krisis politik dan konstitusional akibat tak berfungsinya parlemen dan kevakuman kepemimpinan nasional. Titik terang mulai terlihat setelah Raja Bhumibol meminta tiga lembaga peradilan tertinggi, yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung Tata Usaha Negara segera bertindak untuk menyelesaikan krisis. Harapan semakin nyata setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilu 2 April 2006 tidak sah dan memerintahkan diselenggerakan pemilu yang baru. Delapan hakim menyatakan pemilu 2 April itu melanggar konstitusi, sedang enam hakim menyatakan sebaliknya. Mahkamah Konstitusi turun tangan setelah Raja Bhumibol Adulyadej menolak campur tangan.
Pada 23 Mei 2006, Thaksin kembali menjabat Perdana Menteri setelah posisinya digantikan Wakil Perdana Menteri Chidchai Wannasathit. Langkah ini dinilai membingungkan dan sekaligus berpotensi menciptakan kerusuhan.

Kudeta militer September 2006
Pada malam hari 19 September 2006, ketika Thaksin sedang berada di New York City, AS untuk menghadiri Sidang Umum PBB dan berbicara di depan Dewan Hubungan Luar Negeri, sebuah kudeta dilancarkan oleh militer yang dipimpin oleh Panglima Angkatan Darat Thailand, Jend. Sonthi Boonyaratkalin dan menguasai ibu kota Bangkok. Di Wisma Pemerintah, sekitar 50 tentara memerintahkan sekitar 220 polisi di kompleks itu untuk meletakkan senjata mereka. Pasukan-pasukan juga mengepung stasiun satelit penerima Thaicom yang stasiun televisi pemerintah, Saluran 11. Pagi harinya, 20 September, tank-tank dan kendaraan-kendaraan militer yang dipersenjatai dengan senapan-senapan mesin ditempatkan di Wisma Pemerintah, Plaza Kerajaan dan satuan-satuan pemerintah di sepanjang Rajdamnoen Avenue.[2]
Laporan-laporan media massa mencatat bahwa pasukan-pasukan yang ikut serta dalam kudeta ini berasal dari Wilayah Militer Pertama dan Ketiga, Komando Operasi Keamanan Dalam Negeri, Pusat Tempur Khusus dan satuan-satuan Militer di provinsi Nakhon Ratchasima dan Prachin Buri serta bagian-bagian dari Angkatan Laut.[3] Menurut pimpinan kudeta, Panglima AD Sonthi Boonyaratkalin, para pemimpin kudeta telah menahan Wakil PM Chitchai Wannasathit dan Menteri Pertahanan Thammarak Isaragura na Ayuthaya.[4] Pasukan-pasukan yang tersisa yang menolak ikut serta dalam kudeta mengambil sikap netral dan tidak melakukan apa-apa untuk menahan kudeta.Pihak militer, yang menyebut dirinya Dewan Pembaruan Demokratis, mengeluarkan pernyataan, yang menyebutkan bahwa pemerintahan Thaksin telah menghina raja, mencampuri badan-badan pemerintahan, dan menciptakan perpecahan di masyarakat sebagai alasan-alasan kudeta.[5] Dikatakan pula bahwa Raja adalah kepala negara Thailand, dan bahwa pemilu akan segera dilaksanakan untuk memulihkan demokrasi di seluruh negeri. Militer menyebutkan bahwa tindakannya dapat dibenarkan karena korupsi telah merebak dalam pemerintahan Thaksin.[6]
Referensi
^ Kingdom of Thailand: Legislative Elections of 2 April 2006
^ Pracha Hariraksapitak, Thai armed forces seize Bangkok, Reuters, 19 September 2006.
^ The Nation, Caretaker PM tries to fight back, 20 September 2006
^ One night in Bangkok, 19 September 2006
^ The Nation, Statement from the military reformist, 20 September 2006.
^ MSNBC News, Thai Military launches coup against PM, 19 September 2006.

Pranala luar
(Inggris) http://www.thaigov.go.th/general/cabin/thaksin-e.htm

Chidchai Wannasathit
Chitchai Wannasathit (Thai: ชิดชัย วรรณสถิตย์, China: 曹壁光,[1] lahir di Provinsi Ubon Ratchathani, Thailand, 13 Agustus 1946 ) adalah pejabat caretaker Perdana Menteri Thailand pada April-Mei 2006.
Chitchai Wannasathit adalah wakil perdana menteri pertama dan menteri kehakiman.

Surayud Chulanont
Jendral Surayud Chulanont (Thailand: สุรยุทธ จุลานนท์, lahir 28 Agustus 1943) adalah mantan petinggi militer Thailand, Panglima Angkatan Darat, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, dan Perdana Menteri Thailand. Ia ditunjuk menjadi Perdana Menteri pada 1 Oktober 2006 oleh Sonthi Boonyaratkalin, kepala junta militer yang menumbangkan pemerintahan terpilih Thaksin Shinawatra pada 19 September 2006.

Sebagai Perdana Menteri
Pada 9 Januari 2007, ia secara resmi menyetujui undang-undang tentang Perusahaan Asing. Intinya adalah asing hanya boleh memiliki saham maksimal 50 persen di semua perusahaan yang beroperasi di Thailand. Pemerintah memberi waktu bagi asing untuk menjual sahamnya atau mengurangi kepemilikan saham di atas 50 persen jika ada. Seiring kebijakan ini, indeks harga saham di bursa saham anjlok. Secara de facto, banyak perusahaan di Thailand yang dimiliki asing dengan porsi lebih dari 50 persen.


Hal ini menimbulkan sentimen untuk menjual saham di bursa saham. Setelah mengalami serangan penurunan sejak Desember 2006, indeks harga saham kembali anjlok 2,6 persen. Sebelumnya, Thailand mengizinkan kepemilikan asing hingga maksimal 49 persen. Meskipun, secara de facto, hak suara investor asing melebihi angka itu. Hal ini disebabkan asing memiliki saham melebihi 49 persen dengan menggunakan nama atau katu tanda penduduk yang dimiliki warga Thailand sendiri (pemegang saham nomine). Karena itu, undang-undang yang baru juga menegaskan kembali soal hak suara di dalam rapat umum pemegang saham. Peratusan baru sebenarnya bertjjuan memperjelas aturan soal kepemilihan saham asing dan juga hak pemegang saham agar sesuai dengan porsi kepemilihan saham. Karena telah terjadi ketidakmjelasan antara kepemilikan saham dan hak suara. Namun, tindakan pemerintah meluncurkan peraturan baru tetap memperburuk sentimen investor.
Pada pertengahan Desember 2006, Bank of Thailand sudah membatasi simpanan asing di perbankan hingga maksimal 30 persen, termasuk di lembaga keuangan non-bank. Hal itu membuat investor menjual saham.

Samak Sundaravej
Samak Sundaravej (Thai: สมัคร สุนทรเวช) (lahir di Bangkok, 13 Juni 1935 – meninggal di Bangkok, 24 November 2009 pada umur 74 tahun) adalah Perdana Menteri Thailand sejak 29 Januari 2008 hingga 9 September 2008. Ia juga ketua Partai Kekuatan Rakyat (People's Power Party) sejak Agustus 2007. Ia diberhentikan sebagai perdana menteri oleh Mahkamah Konstitusi Thailand karena menjadi host dan menerima bayaran di dua acara kuliner yang ditayangkan di stasiun televisi. Kabinetnya kemudian menetapkan Somchai Wongsawat sebagai Pejabat Sementara Perdana Menteri.

Profil Politik
Anggota Partai Demokrat (1968-1976)
Anggota Parlemen (1973-1975, 1976, 1979-1983, 1986-1990, 1992-2000)
Pendiri dan ketua Partai Prachakornthai (Thai Citizen Party) (1979-2000)
Wakil Menteri Pertanian dan Koperasi (1975-1976)
Wakil Menteri dalam negeri (1976)
Menteri Urusan Dalam Negeri (1976-1977)
Menteri Perhubungan (1983-1986, 1990-1991)
Gubernur Bangkok (2000-2003)
Senator terpilih (2006; )
Ketua Partai Kekuatan Rakyat (2007-kini)
Perdana Menteri (2008-2008)

Somchai Wongsawat
Somchai Wongsawat (bahasa Thai: สมชาย วงศ์สวัสดิ์, lahir di Nakhon Si Thammarat, Thailand, 31 Agustus 1947; umur 64 tahun) adalah Perdana Menteri Thailand dari 17 September 2008[1] hingga dilarang dari berpolitik oleh Mahkamah Konstitusi Thailand pada 2 Desember 2008.[2] Ia adalah anggota Partai Kekuatan Rakyat Thailand. Somchai sebelumnya bekerja sebagai Menteri Pendidikan [3] dan Deputi Senior Perdana Menteri[4] sejak Februari 2008. Pada 10 hingga 17 September 2008, ia sempat menjadi perdana menteri sementara menggantikan Samak Sundaravej yang harus meletakkan jabatannya karena bekerja sebagai seorang pembawa acara memasak ketika sedang bekerja. Somchai adalah kakak ipar dari Thaksin Shinawatra dan Yingluck Shinawatra.[4]
Dia menjadi seorang anggota dari Dewan Perwakilan Rakyat Thailand pada 2007.[3]

Referensi
^ Ipar Thaksin Terpilih Jadi PM Baru Thailand!, detikNews, 17 September 2008
^ "Thai Court Disbands Ruling Party", The New York Times
^ a b "Mr. Somchai Wongsawat". Kementrian Pendidikan Thailand.
^ a b Ahuja, Ambika, "Acara demonstrasi memasak menggelincirkan Perdana Menteri Thailand", Associated Press/Google, 9 September 2008. Diakses pada 10 September 2008.

Chaovarat Chanweerakul
Chaovarat Chanweerakul (bahasa Thai: ชวรัตน์ ชาญวีรกุล, lahir di Bangkok, 7 Juni 1936 ) adalah Perdana Menteri sementara Thailand saat ini dan anggota dari Partai Kekuatan Rakyat. Chaovarat lahir di Bangkok tanggal 7 Juni 1936 dan lulus dari Universitas Thammasat tahun 1966 dengan gelar ekonomi.[1]
Tanggal 2 Desember 2008, Mahkamah Konstitusi memerintahkan pembubaran Partai Kekuatan Rakyat dan partai koalisi lainnya, pada waktu yang sama mencopot jabatan ketuanya. Perdana Menteri Somchai Wongsawat dipecat bersama dengan beberapa anggota Kabinet lainnya. Dewan Perwakilan Thailand harus menerimanya sebagai Perdana Menteri baru, atau kelompok politik baru harus memilih pemimpin baru dan mengirim namanya untuk disetujui.[2]
Chaovarat digantikan oleh Abhisit Vejjajiva tanggal 15 Desember 2008.

Catatan kaki
http://www.thaigov.go.th/index.aspx?pageid=467&parent=467&directory=1975&pagename=content3

Abhisit Vejjajiva
Abhisit "Mark" Vejjajiva (Thai: อภิสิทธิ์ เวชชาชีวะ, (diucapkan: apʰisit wetɕatɕiwa) (lahir di Newcastle-upon-Tyne, Inggris, 3 Agustus 1964) adalah seorang tokoh politik Thailand, telah memimpin Partai Demokrat sejak Februari 2005. Dewan Perwakilan Thailand pada 15 Desember 2008, memilihnya sebagai Perdana Menteri Thailand ke-27.

Masa kecil dan pendidikan
Abhisit dilahirkan di Newcastle-upon-Tyne, Inggris dalam keluarga Dr. Athasit Vejjajiva dan Dr. Sodsai Vejjajiva. Ia adalah pendukung lama Newcastle United FC. Orangtuanya adalah profesor kedokteran. Ayahnya juga seorang teknokrat yang berpengaruh di dunia politik[1] dan pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Kesehatan Masyarakat.[2] Abhisit mempunyai dua kakak perempuan, Dr. Prof Alisa Wacharasin dan Ngarmpun Vejjajiva. Setelah belajar di Sekolah Demonstrasi Universitas Chulalongkorn, ia pindah ke Sekolah Scaitclife School dan Eton College. Abhisit diterima di St John's College, Oxford, dan lulus dengan gelar sarjana (honours kelas pertama) dalam Filsafat, Politik dan Ekonomi. Ia mengajar sebentar di Akademi Militer Kerajaan Chulachomklao Thailand, namun kembali ke Oxford untuk mendapatkan gelar Master dalam Ilmu Ekonomi. Ia kemudian menjadi dosen di Fakultas Ekonomi di Universitas Thammasat. Ia juga memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Hukum dari Universitas Ramkhamhaeng pada 1990.

Keluarga
Abhisit menikah dengan Dr. Pimpen Sakuntabhai, seorang bekas dokter gigi dan kini dosen di Departemen Matematika di Universitas Chulalongkorn. Mereka mempunyai dua orang anak.
Keluarga Vejjajiva juga adalah sebuah keluarga keturunan Tionghoa-Thai terkemuka[3] (Hakka)[4] yang memelihara hubungan baik dengan elit Thai yang berkuasa sejak akhir abad ke-18.[5] Abhisit sendiri adalah seorang Tionghoa-Thai generasi keempat.[6] Ia mempunyai dua kakak perempuan. Yang pertama, Profesor Alisa Wacharasindhu, seorang psikiater anak terkemuka dan anak-anaknya (Tom dan Tim Wacharasindhu) belajar di Winchester College dan Eton College. Yang lainnya, Ngampun Vejjajiva, adalah seorang pengarang terkemuka Thailand. [7]

Terjun ke politik
Abhisit memulai karier politiknya pada 1992 sebagai seorang anggota parlemen Demokrat untuk konstituensi Bangkok. Ia terpilih kembali ke kursi yang sama pada 1995 dan 1996. Dalam pemilihan umum 2001 dan 2005, ia kembali ke parlemen sebagai seorang anggota parlemen menurut Daftar Partai untuk Partai Demokrat. Ia pernah menjadi juru bicara Partai Demokrat, juru bicara Pemerintah, Wakil Sekretaris Perdana Menteri untuk Urusan Politik, Ketua Komisi Urusan Pendidikan Parlemen, dan Menteri untuk Kantor Perdana Menteri.
Abhisit kadang-kadang dikritik karena mengandalkan wajahnya yang tampan untuk mengangkat kariernya. Ekonom Morgan Stanley, Daniel Lian, dalam sepucuk surat kepada PM Thaksin yang menjabat saat itu, konon bertanya, "Selain wajahnya yang tampak masih muda, apa lagi yang dapat tawarkan kepada rakyat Thailand?"[8] Namun, The Nation, sebuah surat kabar setempat berbahasa Inggris yang lebih bersimpati kepada pihak Demokrat, meanggapi bahwa "Amunisi Abhisit semata-mata adalah kepantasan [dan] bakat yang tidak tertandingi.".

Pemimpin Partai Demokrat
Pada 2001, Abhisit berusaha merebut kepemimpinan partai, dengan menantang politikus kawakan Banyat Bantadtan. Abhisit kalah. Namun, Banyat memimpin Demokrat ke dalam kekalahan hebat oleh partai Thaksin Thai Rak Thai dalam pemilu legislatif 2005. Banyat mundur dan Abhisit terpilih menggantikannya.

Krisis Anti-Thaksin
Ketika PM Thaksin mengumumkan pemilu lebih awal pada 25 Februari 2006, Abhisit mengatakan bahwa ia "siap untuk menjadi perdana menteri yang menaati prinsip-prinsip pemerintahan dan etika yang baik, bukan otoritarianisme." Namun tepat hari berikutnya ia mengumumkan bahwa Partai Demokrat, bersama-sama dengan partai-partai oposisi lainnya, akan memboikot pemilu. Abhisit bergabung dengan Partai Bangsa Thai di bawah pimpinan Banharn Silpa-Archa dan Partai Mahachon yang dipimpin Sanan Kachornprasart dalam mengklaim bahwa pemilihan umum itu "tidak punya legitimasi" dan merupakan upaya Thaksin untuk "mengalihkan perhatian rakyat" dari penjualan perusahaannya Shin Corporation kepada Temasek Holdings yang bebas pajak. Abhisit juga berkata bahwa yang mungkin diperoleh dari waktu yang sangat singkat untuk mempersiapkan pemilu itu ialah "sebuah pemilu yang hasilnya persis seperti yang diharapkan Thaksin."
Pada 24 Maret 2006, sambil mengutip Seksi 7 Konstitusi 1997, Abhisit mendesak Thaksin untuk mengundurkan diri dan mengusulkan agar Raja Bhumibol Adulyadej menunjuk pengganti sementara Perdana Menteri.[9] Raja Bhumibol menolak gagasan itu, dan mengatakan bahwa hal itu inkonstitusional. "Meminta seorang perdana menteri yang diangkat raja tidaklah demokratis," jawab Raja. "Maafkan saya, tapi hal itu sungguh kacau. Tidak rasional."[10].Tidak mengherankan, Partai Thai Rak Thai Thaksin memenangi mayoritas besar dalam pemilu yang nyaris tidak diikuti oleh partai-partai lainnya. Namun, partai ini tidak memiliki dukungan yang cukup yang disyaratkan, yaitu 20% dari seluruh pemilih terdaftar, yang dibutuhkan untuk mengklaim kemenangan di sejumlah konstituensi yang diboikot oleh partai-partai oposisi lainnya. Karena itu sebuah pemilihan sela harus dilakukan. Thai Rak Thai belakangan menuduh Partai Demokrat menyogok partai-partai politik kecil lainnya agar memboikot pemilu. (Demokrat menyangkal tuduhan ini dan dibebaskan dari semua tuduhan oleh Pengadilan Konstitusional pada 30 Mai 2007.) Partai Demokrat, yang dipimpin oleh Thaworn Senniam, menuntut KPU Thailand karena mengadakan pemilu yang bertentangan dengan undang-undang pemilu dan mulai mengumpulkan petisi untuk membatalkan pemilu. Hal ini juga menyebabkan diboikotnya pemilihan sela itu.[rujukan?]

Tuduhan kecurangan pemilu
Ke-11 anggota tim pencari fakta yang dipimpin oleh Wakil Jaksa Agung Chaikasem Nitisiri secara aklamasi setuju pada 28 Juni 2006, untuk membubarkan Partai Demokrat (serta partai Thai Rak Thai dan 3 partai lainnya) berdasarkan bukti bahwa partai itu menyogok partai-partai oposisi kecil lainnya untuk memboikot pemilu 2 April 2006. Abhisit dengan atase politik dari 20 negara untuk menjelaskan tuduhan-tuduhan itu.[11][12]
Pada Februari 2007, dalam sebuah kasus di hadapan Majelis Konstitusional, para calon dari Partai Demokratis Progresif memberikan kesaksian bahwa mereka dibohongi sehingga mendaftarkan diri sebagai kandidat dalam pemilu April.[13]
Tiga orang saksi juga memberikan kesaksian bahwa para pemimpin Demokrat Thaworn Senniam, Wirat Kalayasiri dan Jua Ratchasi mendorong para pemrotes untuk mengganggu pendaftaran para kandidat dalam pemilihan sela setelah pemilu April 2006. Jaksa berpendapat bahwa partai itu berusaha mendiskualifikasi hasil-hasil pemilu dan memaksakan diadakannya putaran pemilu sela yang berkelanjutan.[14] Tuduhan-tuduhan balasan juga muncul bahwa para saksi yang sama ini disewa oleh fraksi-fraksi politik lawan untuk mendiskreditkan Partai Demokrat. Akhirnya, Majelis Konstitusi membebaskan Partai Demokrat dari semua tuduhan.[15][16]

Arah kebijakan
Pada 29 April Abhisit mengumumkan pencalonannya sebagai Perdana Menteri pada konvensi tahunan Partai Demokrat. Ia menjanjian "agenda untuk rakyat", dengan pendidikan sebagai fokus utamanya. ia menggunakan slogan kampanye "Mengutamakan Rakyat". Ia juga berjanji untuk tidak melakukan swastanisasi terhadap kebutuhan dasar rakyat seperti listrik dan air minum dan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan negara yang telah diswastanisasikan oleh Thaksin.[17] Tentang unsur-unsur utama dari apa yang disebut "Thaksinomics" (sistem ekonomi Thaksin), Abhisit menjanjikan "manfaat dari kebijakan-kebijakan merakyat tertentu, seperti misalnya skema pemeliharaan kesehatan 30-Baht, Dana Desa dan skema KMB (Kecil Menengah Besar), tidak akan dibatalkan melainkan ditingkatkan." Ia kemudian mendesak agar skema pemeliharaan kesehatan 30 Baht Thaksin yang populer harus digantikan dengan sistem yang memberikan akses pelayanan kesehatan yang sama sekali gratis. Abhisit menyatakan bahwa semua anggota parlemen Demokrat di masa depan harus mengumumkan kekayaan mereka dan setiap keterlibatan mereka dalam perusahaan-perusahaan swasta. (Menurut undang-undang, hanya anggota-anggota kabinet saja yang diharuskan mengumumkan kekayaan mereka.)[18]
Abhisit mengumpulkan dana sejumlah Bt200 juta pada makan malam Hari Jadi ke-60 Partai Demokrat. Ia membentangkan sejumlah kebijakan energi, termasuk:[19]
Meningkatkan pembayaran deviden dari PTT dan menggunakan dananya untuk membayar kembali utang Dana Minyak
Mengizinkan EGAT menyerap sebagian dari harga miinyak yang meningkat, karena EGAT yang tidak terdaftar tidak mempunyai insentif untuk meningkatkan pengembalian investasi mereka.
Abhisit belakangan mengungkapkan rencananya untuk mengurangi harga eceran BBM dengan menghapuskan pajak sebesar 2.50 baht/liter yang digunakan untuk memelihara Dana Minyak pemerintah. Namun rencananya ini dikritik karena dianggap mendistorsikan mekanisme pasar dan tidak mendorong orang mengurangi konsumsi minyak.
Pada 13 Juli 2006, berjanji untuk menghadapi kekerasan di Selatan dengan membuat masalah di provinsi-provinsi Selatan sebagai agenda publik.[11]
Abhisit juga telah menjanjikan banyak kebijakan yang poluis selain program pemeliharaan kesehatan gratis, termasuk:[20]
Menggratiskan pendidikan, buku-buku pelajaran dan makanan tambahan untuk murid-murid kelompok Bermain.
Meningkatkan upah minimum.

Kudeta militer
Pada 19 September, hanya beberapa waktu sebelum pemilu yang dijadwalkan, militer merebut kekuasaan dalam kudeta Thailand 2006. Abhisit segera menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kudeta itu hanya beberapa jam sebelum semua kegiatan politik dilarang:“      Kami tidak dapat dan tidak mendukung segala perubahan yang inkonstitusional dalam bentuk apapun, tetapi hal itu sudah terjadi. Negara harus berjalan terus dan cara yang terbaik ialah agar para pemimpin kudeta dengan segera mengembalikan kekuasaan kepada rakyat dan melaksanakan pembaruan-pembaruan yang mereka janjikan. Mereka harus membuktikan diri. Saya mendesak mereka agar mencabut semua pembatasan sesegera mungkin. Tidak perlu menyusun sebuah konstitusi baru. Mereka dapat membuat perubahan-perubahan terhadap konstitusi 1997 dan bila demikian halnya, tak perlu menunggu sampai setahun. Enam bulan sudah cukup.[21]         
Abhisit dikritik karena tidak berbuat apa-apa setelah kudeta. Majalah The Economist menyebutnya "sangat disukai tetapi tidak efektif."[1]

Dukungan terhadap konstitusi junta
Abhisit mendukung rancangan konstitusi pihak junta dengan alasan bahwa hal itu kurang buruk dibandingkan yang lainnya. Abhisit mengatakan bahwa Partai Demokrat menganggap konstitusi yang baru serupa dengan Konstitusi 1997, tetapi dengan beberapa perbaikan maupun cacat. "Bila kita ingin memuaskan Dewan Keamanan Nasional kita akan menolak rancangan itu sehingga Dewan akan dapat membuat pilihannya sendiri. Bila kita menolak rancangan itu, hal itu sama saja dengan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan. Kita tiba pada sikap ini karena kita peduli akan kepentingan nasional dan menginginkan gar demokrasi segera dipulihkan," katanya.[22] Sambil mengakui cacat Konstitusi yang baru, Abhisit juga mengusulkan, selain meminta kerja sama dari partai-partai politik lainnya, untuk mengamandemen Konstitusi bila ia terpilih untuk berkuasa.[23]

Pemilu Desember 2007
Partai Demokrat tinggal sebagai oposisi setelah pemilu parlemen Desember 2007, setelah Samak Sundaravej dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP) berhasil membentuk sebuah koalisi enam partai. Dalam pemilihan parlementer pada 28 Januari 2008, Abhisit dikalahkan oleh Samak untuk jabatan Perdana Menteri, dengan suara 163 lawan 310 untuk Samak.[24]

2008
Setelah tersingkirnya Perdana Menteri Samak Sundaravej pada 2008, Abhisit dikalahkan oleh Somchai Wongsawat dalam pemilihan Dewan Nasional Thailand untuk jabatan perdana menteri, dengan 163 banding 298 suara.[25] Pada 2 Desember 2008, Pengadilan Konstitusional Thailand memutuskan untuk melarang tiga partai politik termasuk PPP terlibat dalam politik. Hal ini menyebabkan bubarnya pemerintah koalisi. Pengadilan juga melarang Somchai dan mencopotnya dari jabatannya. Ia digantikan oleh seorang wakilnya. Ketika jelas bahwa pemerintahan di bawah Partai Untuk Rakyat Thai atau Puea Thai (pengganti PPP) bukanlah pilihan yang memungkinkan untuk sisa Partai Chart Thai di bawah Sanan Krachonprasat, Partai Pembangunan Nasional Bersatu Rakyat Thailand dan Partai Demokrat Netral, hampir semua kecuali Partai Rakyat Kerajaan memutuskan untuk mendukung sebuah koalisi yang dipimpin oleh Partai Demokrat dan dengan demikian mendukung Abhisit sebagai Pertana Menteri.[26] Abhisit bahkan memperoleh beberapa pendukung dari PPP termasuk sekitar 37 anggota parlemen dari sebuah fraksi PPP yang disebut "Sahabat-sahabat Newin" (seperti dalam Newin Chidchob), dan dengan demikian memperoleh mayoritas untuk membentuk sebuah koalisi pemerintahan.[27] Pada 7 Desember berbagai partai mengadakan konferensi pers yang mendukung Abhisit dan pemerintahan yang dipimpin oleh Demokrat.[28][29] Abhisit seara resmi diangkat sebagai perdana menteri baru negara itu setelah sebuah pemungutan suara khusus di parlemen pada 15 Desember 2008.[30]